BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AL FANA, AL BAQA, DAN AL ITTIHAD
Sebelum berbicara tentang ittihad, di dalam ilmu tasawuf dikenal istilah al
fana dan al baqa. Al fana menurut bahasa berarti hilangnya wujud sesuatu.
Fana berbeda dengan al fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu,
sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu pada sesuatu yang lain.
Adapun arti fana di kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi
dengan dirinya sendiri dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut
pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan
sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang
dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan yakni sifat sebagai
manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu[1].
Ibn Taimiyah, seorang ulama fiqh dan ahli kalam mengupas tiga keadaan
fana yang telah dikemukakan oleh golongan hakikat, pertama fana dalam
penyembaha (fana’an ibadah), kedua fana dalam pandangan (fana ‘an
syuhud), dan ketiga fana dalam penciptaan (fana ‘an wujud)[2].
Adapun fana dalam penyembahah, Ibn Taimuyah menjelaskan bahwa dalam
baribadat, bertawakkal, dan cinta hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya.
Mengenai fana dalam pandangan, yang oleh orang sufi disebut ihwal istihdam, Ibn
Taimiyah berpendapat bahwa ini termasuk suatu kelebihan dalam bidang menghadap
kepada Allah. Karena apabila seseorang melihat bahwa Allah itu Tuhan bagi
segala sesuatu, yang menjadikannya dan memilikinya, maka dapat dipastikan orang
itu melihat asma, sifat dan hukum Tuhan dan keadaan itu membawanya kepada
ma’rifat, syuhud, iman, dan hakikat yang
lebih sempurna.
Sedangkan fana wujud menurut Ibn Taimiyah adalah jika seseorang itu mencintai
apa yang dicintai Tuhan, membenci apa yang dibenci Tuhan, beramal dan berbuat
apa yang disuruh oleh Tuhan, kecintaan Tuhan menjadi kecintaan baginya, musuh
Tuhan menjadi musuh baginya, maka itulah yang dikatakan bersatu dengan Tuhan.
Hal ini seperti yang dikatakan Bukhari dari Abu Hurairah dalam bentuk Hadis
Qudsi yang berbunyi bahwa Allah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-wali,
sebenarnya menggerakkan Aku menyatakan perang terhadapnya. Tidak ada hambaku
mendekati Aku hanya dengan mengerjakan segala pekerjaan wajib, tetapi ia
mendekati Aku dengan pekerjaan-pekerjaan yang sunat, sehingga Aku mencintainya
karena itu. Apabila Aku mencintainya, maka pendengaran-Ku menjadi
pendengarannya, pandangan-Ku menjadi pandangannya, Aku menjadi tangannya yang
terbuka dan kakinya yang berjalan. Dengan Aku ia mendengar, dengan Aku ia
melihat, dengan Aku iamembuka tangannya dan dengan Aku ia berjalan. Apabila ia
meminta sesuatu kepada-Ku, pasti Aku berikan, apabila ia memohonkan pertolongan
kepada-Ku, pasti Aku bantu, tidak ragu-ragu tentang sesuatu, Akulah yang
memperbuatnya, Aku yang mengambil jiwa hamba-Ku yang mukmin itu, ia membenci
mati, Aku membenci kerusakannya, sehingga panggilan-Ku itu tidak dapat tidak harus
berlaku.”[3] Hadis ini adalah hadis yang shahih, yang
pernah diriwayatkan tentang wali-wali Tuhan.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Menurut para sufi, baqa adalah
kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena
lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat
ilahiah. Dalam tasawuf, fana dan baqa datang beriringan.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al
fana ‘an nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya
tubuh kasar manusia. Kalau seorang sufi telah mencapai al fana ‘an nafs,
yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi),
maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan
Tuhan secara rohaniah. Harun Nasution berpendapat bahwa kelihatannya persatuan
dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al fana ‘an nafs.[4]
Adapun kedudukan fana dan baqa adalah merupakan suatu hal, karena yang
demikian tidak terjadi secara terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh
Tuhan. Fana kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju
ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan). Berbicara fana dan baqa ini erat
hubungannya dengan al ittihad karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri
ialah ittihad tersebut.
Ittihad artinya penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan. Dengan kata
lain yakni bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan.
A. R. Al Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya
satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang
lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud.
Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang
dicintai (sufi dan Tuhan)[5].
Dalam situasi ittihad yang demikian itu,
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, sehingga salah satu
dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dengan
demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya mahasuci aku, maka yang dimaksud
aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan
rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
Ittihad itu tidak dapat diartikan berpadu
menjadi satu antara Tuhan dan hamba-Nya dalam arti kata yang sebenar-benarnya,
tetapi bersatu dalam arti tujuan dan keindahan.
B.
TOKOH SUFI ITTIHAD DAN AJARANNYA
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid Al Bustami disebut-sebut sebagai sufi
yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa (ittihad) ini. Beliau
lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M. dan meninggal pada usia 73 tahun.
Ibunya merupakan seorang zahid dan Abu Yahid amat patuh padanya. Orang tuanya
termasuk pemuka agama yang berada di Bistam. Nama kecilnya adalah Thaifur. Abu
Yazid memilih kehidupan sederhana yang menyayangi dan mengasihi fakir miskin. Sebagian
besar dari waktunya beliau pergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan. Beliau
senantiasa ingin dekat dengan Tuhan, yang dimulai dengan timbulnya paham fana
dan baqa.
Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah
kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan mnimbulkan kesan
seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap
manusia, yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan
ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya.
Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.”[6]
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid
itu bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri
Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya
Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
C.
ITTIHAD DALAM PANDANGAN AL QUR’AN
Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang
oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al rabbi menemui Tuhan.
Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah yang berbunyi: (kahfi 11)
Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan
ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Nabi Musa as. berkata, “Ya Tuhan,
bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman, “Tinggallah dirimu
(lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).”
Ayat dan
riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada
manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batuniah, yang caranya
antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah,
menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran
sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri
dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya initercakup dalam konsep fana dan
baqa. Adanya konsep ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapat dalam ayat
sebagai berikut. (ar rohman 26-27)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Abu Yazid Al Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa (ittihad). Beliau lahir di Bistam, Persia
pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun.
·
Al fana menurut bahasa berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana di kalangan
sufi adalah bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.
·
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Baqa adalah kekalnya sifat-sifat
terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Dalam tasawuf, fana dan baqa
datang beriringan.
·
Fana kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju
ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
·
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al ittihad karena
tujuan dari fana dan baqa itu sendiri ialah ittihad tersebut.
·
Ittihad artinya penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan. Dengan kata
lain yakni bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan.
·
Ittihad itu tidak dapat diartikan berpadu menjadi satu antara Tuhan dan
hamba-Nya dalam arti kata yang sebenar-benarnya, tetapi bersatu dalam arti
tujuan dan keindahan.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Prof. Dr. H. M. A., 2010,
Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers.
Atjeh, Aboebakar, Prof. Dr. H., 1989, Pengantar Sejarah
Sufi & Tasawwuf, Solo: CV Ramadhani.
Mustofa, A., Drs. H., 1997, Akhlak
Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
[1]
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.232.
[2] H.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf, (Solo: CV
Ramadhani, 1989), hal.139.
[3] H.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf, (Solo: CV
Ramadhani, 1989), hal.141.
[4]
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.234.
[5]
H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.V,
ed.rev, hal.269.
[6]
H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar