Sabtu, 29 Oktober 2011

AL ITTIHAD


BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN AL FANA, AL BAQA, DAN AL ITTIHAD
Sebelum berbicara tentang ittihad, di dalam ilmu tasawuf dikenal istilah al fana dan al baqa. Al fana menurut bahasa berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu pada sesuatu yang lain.
Adapun arti fana di kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu[1].
Ibn Taimiyah, seorang ulama fiqh dan ahli kalam mengupas tiga keadaan fana yang telah dikemukakan oleh golongan hakikat, pertama fana dalam penyembaha (fana’an ibadah), kedua fana dalam pandangan (fana ‘an syuhud), dan ketiga fana dalam penciptaan (fana ‘an wujud)[2].
Adapun fana dalam penyembahah, Ibn Taimuyah menjelaskan bahwa dalam baribadat, bertawakkal, dan cinta hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya. Mengenai fana dalam pandangan, yang oleh orang sufi disebut ihwal istihdam, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ini termasuk suatu kelebihan dalam bidang menghadap kepada Allah. Karena apabila seseorang melihat bahwa Allah itu Tuhan bagi segala sesuatu, yang menjadikannya dan memilikinya, maka dapat dipastikan orang itu melihat asma, sifat dan hukum Tuhan dan keadaan itu membawanya kepada ma’rifat, syuhud, iman, dan hakikat  yang lebih sempurna.
Sedangkan fana wujud menurut Ibn Taimiyah adalah jika seseorang itu mencintai apa yang dicintai Tuhan, membenci apa yang dibenci Tuhan, beramal dan berbuat apa yang disuruh oleh Tuhan, kecintaan Tuhan menjadi kecintaan baginya, musuh Tuhan menjadi musuh baginya, maka itulah yang dikatakan bersatu dengan Tuhan. Hal ini seperti yang dikatakan Bukhari dari Abu Hurairah dalam bentuk Hadis Qudsi yang berbunyi bahwa Allah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-wali, sebenarnya menggerakkan Aku menyatakan perang terhadapnya. Tidak ada hambaku mendekati Aku hanya dengan mengerjakan segala pekerjaan wajib, tetapi ia mendekati Aku dengan pekerjaan-pekerjaan yang sunat, sehingga Aku mencintainya karena itu. Apabila Aku mencintainya, maka pendengaran-Ku menjadi pendengarannya, pandangan-Ku menjadi pandangannya, Aku menjadi tangannya yang terbuka dan kakinya yang berjalan. Dengan Aku ia mendengar, dengan Aku ia melihat, dengan Aku iamembuka tangannya dan dengan Aku ia berjalan. Apabila ia meminta sesuatu kepada-Ku, pasti Aku berikan, apabila ia memohonkan pertolongan kepada-Ku, pasti Aku bantu, tidak ragu-ragu tentang sesuatu, Akulah yang memperbuatnya, Aku yang mengambil jiwa hamba-Ku yang mukmin itu, ia membenci mati, Aku membenci kerusakannya, sehingga panggilan-Ku itu tidak dapat tidak harus berlaku.”[3] Hadis ini adalah hadis yang shahih, yang pernah diriwayatkan tentang wali-wali Tuhan.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam tasawuf, fana dan baqa datang beriringan.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al fana ‘an nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau seorang sufi telah mencapai al fana ‘an nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Harun Nasution berpendapat bahwa kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al fana ‘an nafs.[4]
Adapun kedudukan fana dan baqa adalah merupakan suatu hal, karena yang demikian tidak terjadi secara terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan). Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al ittihad karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri ialah ittihad tersebut.
Ittihad artinya penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan. Dengan kata lain yakni bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
A. R. Al Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan)[5].
      Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya mahasuci aku, maka yang dimaksud aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
      Ittihad itu tidak dapat diartikan berpadu menjadi satu antara Tuhan dan hamba-Nya dalam arti kata yang sebenar-benarnya, tetapi bersatu dalam arti tujuan dan keindahan.



B.     TOKOH SUFI ITTIHAD DAN AJARANNYA
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid Al Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa (ittihad) ini. Beliau lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M. dan meninggal pada usia 73 tahun. Ibunya merupakan seorang zahid dan Abu Yahid amat patuh padanya. Orang tuanya termasuk pemuka agama yang berada di Bistam. Nama kecilnya adalah Thaifur. Abu Yazid memilih kehidupan sederhana yang menyayangi dan mengasihi fakir miskin. Sebagian besar dari waktunya beliau pergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan. Beliau senantiasa ingin dekat dengan Tuhan, yang dimulai dengan timbulnya paham fana dan baqa.
Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan mnimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.[6]
      Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.

C.    ITTIHAD DALAM PANDANGAN AL QUR’AN
Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al rabbi menemui Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi: (kahfi 11)

     Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Nabi Musa as. berkata, “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman, “Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).”
      Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batuniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya initercakup dalam konsep fana dan baqa. Adanya konsep ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapat dalam ayat sebagai berikut. (ar rohman 26-27)



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
·         Abu Yazid Al Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa (ittihad). Beliau lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun.
·         Al fana menurut bahasa berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana di kalangan sufi adalah bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.
·         Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Dalam tasawuf, fana dan baqa datang beriringan.
·         Fana kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
·         Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al ittihad karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri ialah ittihad tersebut.
·         Ittihad artinya penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan. Dengan kata lain yakni bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
·         Ittihad itu tidak dapat diartikan berpadu menjadi satu antara Tuhan dan hamba-Nya dalam arti kata yang sebenar-benarnya, tetapi bersatu dalam arti tujuan dan keindahan.



DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Prof. Dr. H. M. A., 2010, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers.
Atjeh, Aboebakar, Prof. Dr. H., 1989, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf, Solo: CV Ramadhani.
Mustofa, A., Drs. H., 1997, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.



[1] H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.232.
[2] H. Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf, (Solo: CV Ramadhani, 1989), hal.139.
[3] H. Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf, (Solo: CV Ramadhani, 1989), hal.141.
[4] H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.234.
[5] H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.V, ed.rev, hal.269.
[6] H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar