BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah
Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang
akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah
juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu
menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka
tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup
mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti
keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan
itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan
sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup
pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan
pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita
kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan
kebebasan kabilah yang penuh.[1]
Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga
bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh
anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka,“Tolong
saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya.“[2]
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya.
Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih
menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan
wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk
kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan
kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena
universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka
loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah.
Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan
yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala
itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat
dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang
agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi,
sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat
perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke
Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena
pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab
karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang
menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah
merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan
kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa
peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum
masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang
lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba`
(955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan
Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan
Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan
penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di
antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian.
Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan
kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan
minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan
mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`,
bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud
dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang
menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan
apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta
tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak
semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang
tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka
membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka
dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada
kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.
B.
Kondisi
Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang
keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati
dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang
tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab
karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum
wanita.
Karena jika seorang wanita
menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu
perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan
dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap
dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan
setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui
persetujuan wali wanita.
Begitulah gambaran secara ringkas
kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam
dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan laki-laki begitu
bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan.
Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih
laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak
dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan
laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan
lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa
menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para
laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita
pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’,
seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga
mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya
kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak
yang pintar dan baik.
4. Laki-laki
dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak
yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya
menurut kemauannya.[4]
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang
diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa
jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri
yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda
bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada
ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan
mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu.
Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih
memiliki keagungan jiwa.
Ada pula kebiasaan diantara
mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena
kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin
dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan
ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.
Secara garis besar, kondisi
masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala
aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya
binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya
benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang
kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat
dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.
C. Agama Arab Pra-Islam
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah
Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam
yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang
melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih
ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr
Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal
baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga
semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama
besar dan wali yang disegani.
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan
perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam
menyembah berhala. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam,
wathan, nuṣub, dan ḥubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu.
Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk
tertentu. Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik.[5]
Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab
menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil
membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia
mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang
Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai
pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala
yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka
tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka
tempatkan di Tha’if.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih
kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz.
Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni
mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Kristen, Majusi, dan
Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian
kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu
berkembang pesat.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak
banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah
Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke
Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.
Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh.
Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di
dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api,
dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua
puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan
dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam
tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah
pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid
al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan
“al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik,
Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama
Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya
dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran
gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan
antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan
antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang
bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian
menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius
menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak
dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab
yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui
misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus
dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan
tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama
di atas adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim
yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam,
juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan
Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah
Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas
ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu
Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin
Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin
Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin
Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.[7]
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah:
penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam
perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang
sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan
dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman
bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya,
berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan
memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan,
pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan
daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan
beban-beban pendidikan mereka.
D.
Ekonomi dan
Politik Arab Pra-Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab
adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan
bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia
terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia, terutama
jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah melalui
jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut
tengah, sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar
India ke teluk Arab atau sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir
di Syam atau Mesir. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi
kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab,
bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan
faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan dan
menggagalkan tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka
hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke
sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak
mengenal konsep negara. Kondisi semacam ini sangat mempengaruhi corak perekonomian
orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada
peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang
tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk
bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Adalah Hāshim (lahir 464 M), kakek buyut Nabi, yang pertamakali
membudayakan bepergian bagi suku Quraysh pada musim dingin ke Yaman dan ke
Ḥabashah ke Negus dan pada musim panas ke Syam dan ke Gaza dan barangkali
hingga sampai di Ankara lalu menemui kaisar. Ini merupakan perdangan lintas
negara yang biasa mereka lakukan. Mereka juga bisa menjalin hubungan
perdagangan dengan dua kekuatan politik yang saling bertentangan, yaitu
Bizantium dan Persia tanpa memihak ke salah satu di antara keduanya. Oleh
karena itu, peradaban mereka dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan dalam arti
bahwa mereka berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat seberang dan semakin
menjauh dari pola badui.
Jauh berbeda dengan Yaman, selain letak geografisnya yang strategis untuk
perdagangan, ia juga merupakan daerah subur. Dengan dua kelebihan yang ada,
mereka bisa mengandalkan perdangangan dan pertanian sebagai sumber ekonomi
mereka. Mereka mengirim kulit, sutera, emas, perak, batu mulia, dan lain-lain
Mesir kemudian ke Yunani, Rumania, dan imperium Bizantium. Kerajaan Ma`īn,
Saba`, dan Ḥimyar yang ada di Yaman mencapai stabilitas politik dan ekonomi,
bahkan menciptakan kehidupan yang beradab dengan tersebarnya pasar-pasar dan
bangunan-bangunan menakjubkan yang bersandar pada pertanian dan perdangangan
yang sangat maju. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan mereka tentang ekonomi dan
politik lebih maju daripada daerah-daerah lain di Jazirah Arab, sehingga
merengkuh lebih awal peradaban yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar