Sabtu, 29 Oktober 2011

SEJARAH MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.[1] Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka,“Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya.“[2]
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.

B.     Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.
Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.[4]
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.

C.    Agama Arab Pra-Islam
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam, wathan, nuṣub, dan ḥubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik.[5] Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.[6]
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.[7]
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.

D.    Ekonomi dan Politik Arab Pra-Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia, terutama jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah melalui jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut tengah, sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar India ke teluk Arab atau sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir di Syam atau Mesir. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan dan menggagalkan tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara. Kondisi semacam ini sangat mempengaruhi corak perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Adalah Hāshim (lahir 464 M), kakek buyut Nabi, yang pertamakali membudayakan bepergian bagi suku Quraysh pada musim dingin ke Yaman dan ke Ḥabashah ke Negus dan pada musim panas ke Syam dan ke Gaza dan barangkali hingga sampai di Ankara lalu menemui kaisar. Ini merupakan perdangan lintas negara yang biasa mereka lakukan. Mereka juga bisa menjalin hubungan perdagangan dengan dua kekuatan politik yang saling bertentangan, yaitu Bizantium dan Persia tanpa memihak ke salah satu di antara keduanya. Oleh karena itu, peradaban mereka dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan dalam arti bahwa mereka berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat seberang dan semakin menjauh dari pola badui.
Jauh berbeda dengan Yaman, selain letak geografisnya yang strategis untuk perdagangan, ia juga merupakan daerah subur. Dengan dua kelebihan yang ada, mereka bisa mengandalkan perdangangan dan pertanian sebagai sumber ekonomi mereka. Mereka mengirim kulit, sutera, emas, perak, batu mulia, dan lain-lain Mesir kemudian ke Yunani, Rumania, dan imperium Bizantium. Kerajaan Ma`īn, Saba`, dan Ḥimyar yang ada di Yaman mencapai stabilitas politik dan ekonomi, bahkan menciptakan kehidupan yang beradab dengan tersebarnya pasar-pasar dan bangunan-bangunan menakjubkan yang bersandar pada pertanian dan perdangangan yang sangat maju. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan mereka tentang ekonomi dan politik lebih maju daripada daerah-daerah lain di Jazirah Arab, sehingga merengkuh lebih awal peradaban yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar