Sabtu, 29 Oktober 2011

PEMBINAAN DISIPIN DAN PERILAKU ANAK


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Disipin Kelas
Kata disiplin berasal dari bahasa latin “disciplina” yang menunjuk kepada belajar dan mengajar. Kata ini berasosiasi sangat dekat dengan istilah “disiple” yang berarti mengikuti orang belajar dibawah pengawasan seorang pemimpin. Di dalam pembicaraan disiplin dikenal dua istilah yang pengertiannya hampir sama tetapi terbentuknya satu sama lain merupakan urutan. Kedua istilah itu adalah disiplin dan ketertiban, ada juga yang menggunakan istilah siasat dan ketertiban. Di antara kedua istilah tersebut terlebih dahulu terbentuk pengertian ketertiban, baru kemudian pengertian disiplin (Suharsimi, 1993: 114).[1]
Disiplin merupakan sesuatu yang berkenaan dengan pengendalian diri seseorang terhadap bentuk-bentuk aturan. Disiplin merupakan sikap mental. Disiplin pada hakekatnya adalah pernyataan sikap mental dari individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan , kepatuhan yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan.
Disiplin berkaitan pula dengan  motivasi, karena dengan adanya disiplin anak terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu untuk mencapai apa yang diharapkan orang lain darinya, apakah itu keluarga, guru, maupun teman-temannya.
Santoso (2002) menyatakan disiplin merupakan kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri seseorang sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan.[2]
Rimm (2003) mengemukakan bahwa tujuan disiplin pada anak adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baikyang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat tergantung kepada disiplin diri. Diharapkan, kelak disiplin diri akan membuat mereka hidup bahagia, berhasil, dan penuh kasih sayang.[3]
Inti dari disiplin ialah untuk mengajar, atau seseorang yang mengikuti ajaran. Bagi anak tujuan jangka pendek dari disiplin ialah membuat anak supaya terlatih dan terkontrol, dengan mengajarkan mereka bentuk-bentuk tingkah laku yang pantas dan yang tidak pantas atau yang masih asing bagi mereka. Sedangkan tujuan jangka panjang dari disiplin adalah untuk perkembangan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri (self control and self direction) yaitu dalam hal mana anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian luar. Pengendalian diri berarti menguasai tingkah laku diri sendiri dengan berpedoman norma-norma yang jelas, standar-standar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik sendiri. Karena itu di sekolah guru haruslah secara aktif dan terus menerus berusaha, untuk memainkan peranan yang makin kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap melakukan pengembangan dan pengendalian disiplin pada anak sehingga anak mampu melakukan pengarahan diri sendiri kelak.[4]
Disiplin kelas merupakan  hal yang esensial terhadap terciptanya perilaku tidak menyimpang dari ketertiban kelas. Dalam semangat pendekatan pendidikan disiplin hendaknya memiliki basis kemanusiaan dan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip kemanusiaan dan demokrasi berfungsi sebagai petunjuk dan pengecek bagi para guru dala mengambil kebijakan yang berhubungan dengan disiplin. Oleh karena itu, pendekatan disiplin yang dilakukan oleh guru harus:
a.       Menggambarkan prinsip-prinsip pedagogi dan hubungan kemanusiaan;
b.      Mengembangkan dan membentuk profesionalisme personel dan sosial lulusan;
c.       Merefleksikan tumbuhnya kepercayaan dan kontrol dari peserta didik;
d.      Menumbuhkan kesungguhan berbuat dan berkreasi, baik dikalangan guru dan peserta didik tanpa ada kecurigaan dan kecemasan;
e.       Menghindari perasaan beban berat an rasa terpaksa dikalangan para peserta didik.[5]
Para peserta didik, dengan disiplin diharapkan bersedia untuk tunduk dan mengikuti peraturan tertentu dan  menjauhi larangan tertentu  pula. Terciptanya kesediaan semacam ini harus dipelajari dan harus secara sadar diterima. Itu semua adalah dalam rangka memelihara kepentingan bersama atau memelihara kelancaran tugas-tugas sekolah.
Satu keuntungan  lain dari adanya disiplin adalah para peserta didik belajar hidup dengan pembiasaan yang baik, positif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannnya. Lebih lanjut dengan adanya pembiasaan tersebut maka akan tumbuh jiwa tentram dalam diri dan masyarakat sekitar.
Menegakkan disiplin tidak bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan kemerdekaan siswa. Menegakkan disiplin justru sebaiknya, ia ingin memberi kemerdekaan yang lebih besar kepada siswa dalam batas-batas kemampuannya. Akan tetapi, juga kalau kebebasan siswa terlampau dikurangi, dikekang dengan peraturan maka siswa akan berontak dan mengalami frustasi dan kecemasan. Di sekolah disiplin banyak digunakan untuk mengontrol tingkah laku siswa yang dikehendaki agar tugas-tugas di sekolah dapat berjalan dengan optimal.

B.     Pentingnnya Pembinaan Disiplin Dan Perilaku Anak
Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, merupakan  modal dasar yang sangat penting bagi kehidupan yang sukses di masa depan. Berkaitan dengan hal ini, peran guru membantu anak menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga anak merasa bahagia dan mampu menerima dirinya (self acceptance).
Pembiasaan disiplin pada diri anak penting karena dengan berdisiplin dapat memantapkan peran sosial anak. Rua (2003) mengemukakan bahwa rahasia keberhasilan adalah kedisiplinan. Orang yang terlatih disiplin akan lebih besar kemungkinannya meraih keberhasilan ketimbang orang yang tidak disiplin. Tujuan dari disiplin adalah membentuk perilaku anak, yang sesuai dengan peran yang ditentukan lingkungan atau kelompok sosialnya. Untuk itu dalam penanaman disiplin ini perlu peran orang tua di rumah maupun guru di sekolah.[6]
Di rumah orang tua dan anggota keluarga lainnya merupakan model yang
ditiru anak dalam pembentukan disiplin diri. Selain itu arahan-arahan dan bimbingan orang tua merupakan pedoman anak bertingkah laku agar dapat melakukan penyesuaian diri di lingkungannya.
Begitu pula halnya di sekolah, seluruh personil sekolah adalah model bagi
anak, sedangkan arahan dan bimbingan serta aturan-aturan di sekolah umumnya dan aturan guru dalam kelas khususnya dapat membentuk perilaku anak dan mantapnya pembentukan perannya dalam lingkungannya.

C.    Teknik Pembinaan Disiplin Kelas
Ada tiga macam teknik yang sudah dikenal dalam pembinaan disiplin yaitu teknik otoriter, permisif, dan demokratis. Teknik ini dibedakan berdasar-kan bagaimana aturan diterapkan pada anak.[7]
1.      Teknik otoriter
Dalam teknik ini disiplin ditegakkan secara kaku. Penerapan hukuman pada anak bertujuan untuk memperkuat kepatuhan anak akan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Bila anak melakukan pelanggaran terhadap aturan tesebut, maka anak akan dihukum. Dalam penerapan tehnik ini hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali penguatan positif seperti senyuman, pujian, bila anak bertingkah laku sesuai dengan aturan.
Pengekangan pada anak sangat menonjol sekali terlihat dalam penerapan disiplin dengan teknik otoriter ini. Pengekangan terkesan kaku sekali, tapi kadang kala bisa juga terkesan tidak terlalu kaku. Dalam pengekangan yang kaku, anak harus berperilaku sesuai dengan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dan anak tidak diperbolehkan membuat membuat keputusan sendiri. Guru punya otoritas yang sangat tinggi dalam menetapkan perilaku yang harus ditampilkan, walaupun anak sering tidak paham mengapa harus berperilaku seperti itu. Dalam hal ini anak tidak diberikan kesempatan untuk belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Pada disiplin otoriter yang tidak terlalu kaku, pengekakangan pada anak agak kurang ditonjolkan, namun pengaturan terhadap perilaku anak tetap ada. Satu kelebihan dari teknik ini adalah guru mencoba memahami keinginan-keinginan anak. Namun kadang-kadang terlihat adanya larangan-larangan tidak masuk akal masih digunakan guru untuk mengendalikan perilaku anak.
Penerapan teknik disiplin ini dapat menjadikan anak berperilaku yang diinginkan, patuh, tenang menjadi anak yang manis, tapi anak secara diam-diam menaruh rasa tidak puas terhadap tokoh otoritasnya yang memberikan aturan-aturan kepada anak dalam berperilaku. Kepribadian anak menjadi kaku, tidak luwes dan sulit melakukan penyesuaian diri dengan kelompoknya. Anak dalam setiap tindakannya dibayangi oleh perasan takut berbuat salah, karena kesalahan dan pelanggaran dari aturan yang ditetapkan akan berakibat hukuman. Namun jika kesalahan dan pelanggaran terlanjur dilakukan, maka untuk melindungi diri anak akan berbohong, bahkan anak bisa tumbuh menjadi seorang yang licik dalam segala tindak tanduknya.
Dalam penerapan teknik ini guru harus mempunyai kewibawaan dan otoritas terhadap anak, yang menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dan kekuasaan terhadap anak yang dihadapinya. Teknik ini jika diterapkan pada anak dalam kelas terkadang dapat menimbulkan kekacauan, kecuali kalau guru mempunyai kemampuan yang cukup dalam mengelola menguasai kelas. Untuk itu guru harus bersikap tegas dan punya banyak pengalaman dan pengetahuan tentang apa-apa yang harus dilakukan anak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya.
2.      Teknik permisif
Teknik permisif ini merupakan lawan dari teknik otoriter. Pada teknik ini guru memberikan kebebasan kepada anak dalam mengembangkan perilakunya. Dalam hal ini campur tangan guru yang berlebihan dianggap suatu hambatan bagi anak dalam menentukan segala tindakannya dalam berperilaku.
Teknik ini tidak mengarahkan anak untuk berperilaku yang sesuai dengan aturan dan kebiasaan yang ada dalam kelompoknya. Anak diperbolehkan untuk melakukan apa saja. Pola pengasuhan yang serba membolehkan ini dapat menimbulkan kesulitan bagi anak untuk memutuskan sesuatu karena tidak ada patokan sama sekali dalam berperilaku. Pemahaman anakyang masih rendah dan minimnya pengalaman dan pengetahuan mereka membuat mereka bingung untuk berperilaku yang pantas. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya rasa cemas, dan takutyangberlebihan. Sebaliknya anak akan menjadi agresif, karena sedikit sekali
pengawasan yang diberikan guru pada anak, sehingga anak merasa tidak takut dan melakukan tindakan berdasarkan kemauan sendiri.
3.      Teknik demokratis
Penerapan teknik disiplin demokratis menekankan pada pemberian kesempatan pada anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Dasar pemikiran dari teknik ini adalah mengembangkan kendali tingkah laku sehingga anak mampu melakukan hal yang benar tanpa harus diawasi dengan ketat. Dalam penerapan teknik ini anak berhak untuk mengeluarkan pendapat, usul, dan inisitif, namun dalam penentuan keputusan anak akan dibantu oleh guru. Untuk itu guru sering memberikan menggunakan penjelasan, diskusi dan mengemukakan alasan-alasan dalam mengajarkan anak berperilaku.
Teknik disiplin demokratis dapat mengembangan kendali diri pada anak, sehingga membuat anak merasa puas. Anak biasanya menjadi seorang yang dapat diajakbekerja sama, mandiri, percaya diri, kreatif, dan ramah.
Dalam penerapan teknik disiplin ini guru bisa saja berpindah dari satu teknik ke teknik yang lain. Di sinilah letak kearifan guru dalam menanamkan disiplin.
Ketiga teknik di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya, jadi tidak ada teknik mana yang lebih baik dibandingkan dengan teknik lainnya. Namun demikian banyak orang cenderung berpendapat bahwa dalam menanamkan disiplin pada anak pendekatan demokratis yang paling baik. Alasannya adalah: (a) karena anak diajak berbincang-bincang, bertukar pikiran dan beradu argumentasi, (b) norma kedisipinan dapat dikaji ulang, (c) tidak ada hukuman, (d) dapat membina penyesuaian pribadi dan sosial yang baik, dan (e) mengajarkan orang untuk bekerjasama, mengendalikan diri dengan tenang dan bersikap ra-mah pada orang lain, (f) guru atau orang tua mempunyai hubungan dengan anak yang hangat dan bersahabat, sehingga menjalin kerjasama, dan (g) dapat memuaskan anak, terutama yang usia pubertas, mulai dewasa, sebab anak merasa diberi kepercayaan dan peluang untuk meng-atur tingkah lakunya (Santoso, 2002).[8]

D.    Penerapan Disiplin Kelas
Pembinaan perilaku untuk anak MI dilakukan melalui pembiasaan perilaku,baik diprogram guru maupun secara spontan, yang dimulai sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung dan sampai berakhirnya pembelajaran. Dengan kata lain, penerapan disiplin kelas harus dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai, dalam kegiatan pembelajaran berlangsung, selama istirahat/makan/bermain dan sesudah pelajaran berakhir.
1.      Mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain
Pada waktu mengucapkan salam diharapkan perilaku anak, antara lain: (a) sopan dan santun, (b) menunjukkan reaksi dan emosi yang wajar, (c) berani dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar, (d) meng-hormati orang lain, (e) menciptakan suasana keakraban, (f) melatih keberanian, dan (g) mengembangkan sosialisasi.
2.      Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan
Pada waktu berdoa diharapkan anak berperilaku, antara lain: (a) memusatkan perhatian dalam jangka waktu tertentu, (b) berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan, (c) rapi dalam bertindak, (d) berani dan mempunyi rasa ingin tahu yang besar, (e) bersikap tertib, dan tenang dalam berdoa, dan (f) mematuhi peraturan/tata tertib.
3.      Dalam kegiatan pembelajaran
Dalam kegiatan pembelajaran, diharapkan anak berperilaku: (a) rapi dalam bertindak, berpakaian dan bekerja, (b) berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan, (c) berani dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar, (d) merasa puas atas prestasi yang dicapai dan ingin terus meningkatkan, (e) bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, (f) menjaga kebersihan lingkungan, (g) mengendalikan emosi, (h) menjaga keamanan diri, (i) sopan, dan (j) tenggang rasa terhadap keadaan orang lain .
4.      Waktu Istirahat/Makan/Bermain
Pada waktu istirahat/makan/bermain diharapkan anak berperilaku: (a) berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, (b) tolong- menolong sesama teman, (c) rapi dalam bertindak, berpakaian dan bekerja, (f) mengurus diri sendiri, (g) tenggang rasa terhadap keadaan orang lain, (h) sabar menunggu giliran, (i) dapat membedakan milik sendiri dan orang lain, (j) meminta tolong dengan baik, (k) mengucapkan terima kasih dengan baik, (1) membuang sampah pada tempatnya, (m) menyimpan alat permainan
setelah digunakan, (n) menjaga keamanan diri, (o) mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, (p) mau dan dapat makan sendiri, (q) mau membersihkan dan merapikan tempat makan, (r) tidak berebut mainan, (s) menjaga kebersihan dan kesehatan.
5.      Waktu pembelajaran berakhir (pulang)
Pada waktu pembelajaran berakhir, diharapkan anak berperilaku; (a) memberikan hormat kepada guru yang akan meninggalkan kelas, (b) berdoa sesudah selesainya kegiatan pembelajaran, (c) meneliti tempat duduknya agar tidak ada barang yang ketinggalan, dan (d) antri ke luar kelas (Depdikbud, 1998).[9]

E.     Penerapan Hukuman dan Hadiah
1.      Pengertian Hukuman
Hukuman merupakan penyajian stimulus yang tidak menyenangkan untuk
menghilangkan dengan segera perilaku anak yang tidak diharapkan, sehingga hukuman dapat pula diartikan suatu bentuk sanksi yang diberikan pada anak baik sanksi fisik maupun psikis apabila anak melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran yang sengaja dilakukan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan.
2.      Fungsi hukuman
Pada dasarnya ada tiga fungsi penting dari hukuman yang berperan besar bagi perkembangan moral anak, yaitu fungsi reskriptif, pendidikan dan motivasi.
a)      Fungsi restriktif
Hukuman dapat menghalangi terulangnya kembali perilaku yang tidak diinginkan pada anak. Jika seorang anak pernah mendapat hukuman karena ia telah melakukan satu kesalahan atau pelanggaran, maka ia akan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang serupa di masa datang.


b)      Fungsi pendidikan
Hukuman yang diterima anak merupakan pengalaman bagi anakyang dapat dijadikan pelajaranyangberharga. Anakbisa bisa belajar tentang salah dan benar melalui hukuman yang telah diberikan kepadanya. Hal ini menyadarkan anak akan adanya suatu aturan yang haras dipahami dan dipatuhi, yang bisa menuntunnya untuk memastikan boleh atau tidaknya suatu tindakan dilakukan.
c)      Fungsi motivasi
Hukuman dapat memperkuat motivasi anak untuk menghindarkan diri dari tingkah laku yang tidak diinginkan. Dari pengalaman hukuman yang pernah diterima anak, maka anakmerasakanbahwa menerima hukuman merupakan suatu pengalaman yang kurang menyenangkan, dengan demikian anak bertekad tidak mengulangi kesalahan yang sama dan akhirnya timbul dorongan untuk berperilaku wajar, yaitu perilaku yang diinginkan dan dapat diterima oleh kelompoknya.[10]

3.      Bentuk-bentuk hukuman dan penerapannya pada anak
Dalam memberikan hukuman kepada anak guru perlu memperhatikan syarat-syaratnya. Bertikut ini dikemukakan syarat-syarat hukuman bagi anak yang dapat menjadi rambu-rambu bagi guru dalam penerapannya.
·      Bertujuan mengembangkan hati nurani. Hukuman yang diberikan  ada anak hendaknya dapat mengembangkan hati nurani anak, sehingga suatu saat anak dapat mengembangkan kontrol dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian makin bertambah umur anak, makin matang ia bertindak sehingga batasan-batasan yang ditentukan makin berkurang karena makin meningkatnya kontrol dari dalam diri anak.
·      Jelas dan disertai alasan. Supaya tidak terjadi salah pengertian oleh anak tentang mengapa ia dihukum, guru harus mengemukakan tiga hal, yaitu; sebutkan nama kelakukan yang salah, nyatakan aturan atau prinsip yang dilanggar oleh perbuatan salah itu, dan terangkan hukuman atau konsekwensi yang tidak enak yang akan diterima anak karena pelanggaran itu.
·      Memberikan alternatifyang dapat diterima anak. Maksud dari pemberian hukuman pada anak adalah untuk mengajar anak tentang hal-hal apa yang boleh dilakukan. Seorang anak akan lebih mungkin merubah perilakunya yang salah, kalau dia tidak hanya mengetahui apa yang tidak boleh dilakukannya, tetapi juga apa yang harus dilakukannya.
·      Bertolak darifakta-fakta yang lengkap. Guru sebelum menjatuhkan hukuman pada anak haruslah terlebih dahulu mengumpulkan semua fakta yang berkaitan dengan permasalahan perilaku anak.
·      Menetapkan hukuman adalah sebagai pilihan terakhir.
·      Segera, tidak ditunda-tunda.
·      Imbangi dengan hadiah dan dorongan yang konstruktif.
·      Tidak berbentuk hukuman ganda.
·      Harus bersifat pribadi dan tidak mempermalukan anak.
·      Dahului dengan cara memberi suatu peringatan.
·      Bersifat impersonal.
·      Konsisten.
·      Ciptakan hubungan dengan penuh kasih sayang. Hubungan yang positif guru dengan anak merupakan kondisi yang mendukung untuk mudahnya anak untuk menerima alasan mengapa mereka harus dihukum.
·      Perhatikan akibat hukuman terhadap anak.
·      Usahakan melibatkan anak. Guru dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk memikirkan dan menilai sendiri kesalahannya.
·      Tenang dan objektif. Hindarilah pemakaian nama ejekan, suara berteriak, hinaan-hinaan, sindiran tajam, teknik-teknik mengkritik dan sebagainya, yang hanya merendahkan harga diri seorang anak dan makin memperbesar reaksi emosinya.
·      Adil.
·      Usahakanlah pencegahan.
·      Aktif memahami masalah anak.
·      Tidak merasa diri lebih sempurna.

4.      Pengertian Hadiah
Hadiah atau ganjaran adalah berbagai bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap suatu prestasi. Santoso (2002) menyatakan sebaiknya hadiah tesebut tidak berbentuk uang tetapi alat atau benda yang bermanfaat bagi keperluan sekolah, misalnya tas, sepatu, baju, atau alat tulis.[11]

5.      Fungsi Hadiah
Ada tiga fungsi penting dari hadiah, yaitu:
a)      Memiliki nilai pendidikan
Hadiah adalah salah satu bentuk pengetahuan yang membuat anak segera tahu bahwa tingkah lakunya itu baik. Sama halnya dengan hukuman yang menyadarkan anak bahwa tingkah lakunya tidak dapat diterima lingkungannya.
b)      Memotivasi anak utuk mengulangi tingkah laku yang diterima.
Anak umumnya akan bereaksi positif terhadap penerimaan lingkungan yang diekspresikan lewat hadiah. Hal ini mendorong mereka bertingkah laku baik agar mendapat hadiah lebih banyak.
c)      Memperkuat tingkah laku yang dapat diterima lingkungan
Apabila anak mendapat penghargaan atas tingkah lakunya maka ia mendapatkan pemahaman bahwa apa yang dilakukannya itu berarti. Ini yang membuat anak termotivasi untuk terus mengulangi. Sementara anak yang miskin hadiah tidak tahu persis apakah yang dilakukan itu berarti atau tidak. Akibatnya, perilaku yang sebenarnya baik tidak diulanginya lagi.[12]



6.      Bentuk Hadiah dan Penerapannya
Apapun bentuk hadiah, ia harus sesuai dengan kebutuhan anak. Bila hadiah yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan anak, efektivitas pemberian hadiah akan hilang. Oleh karena itu diperlukan kepekaan guru dalam memberikan hadiah kepada anak. Schaefer (1996) mengemukakan bahwa hadiah dapat digolongkan kepada hadiah primer, yang berupa makanan, uang, alat-alat dan benda-benda nyata, sedangkan yang bersifat sekunder yang bersifat pujian dan perhatian. Atas dasar sifat hadiah tersebut, maka penerapan hadiah oleh guru untuk anak MI di sekolah dapat berbentuk: (a) komunikasi non verbal, (b) bentuk pengakuan, (c) benda nyata atau kado, dan (d) perlakuan istimewa.[13]

Penerapan hukuman dan pemberian hadiah yang tepat dan benar pada anak merupakan salah satu faktor yang penting dalam membentuk anak menjadi makhluk sosial yang sehat dan bertanggung jawab dalam hidupnya. Untuk itu pemberian hadiah dan penerapan hukuman haruslah pula memperhatikan aspek perkembangan anak.



[1] http://sipembunuhkarakter.blogspot.com/2011/02/manajemen-kelas_3454.html (tanggal 25 Oktober 2011)
[2] http://www.scribd.com/doc/18120772/pembinaan-disiplin-kelas (tanggal 25 Oktober 2011)
[3] http://www.scribd.com/doc/18120772/pembinaan-disiplin-kelas (tanggal 25 Oktober 2011)
[4] Ibid. (tanggal 25 Oktober 2011)
[5] http://sipembunuhkarakter.blogspot.com/2011/02/manajemen-kelas_3454.html (tanggal 25 Oktober 2011)
[6] http://www.scribd.com/doc/18120772/pembinaan-disiplin-kelas (tanggal 25 Oktober 2011)
[7] Ibid. (tanggal 25 Oktober 2011)
[8] http://www.scribd.com/doc/18120772/pembinaan-disiplin-kelas (tanggal 25 Oktober 2011)
[9] http://www.scribd.com/doc/18120772/pembinaan-disiplin-kelas (tanggal 25 Oktober 2011)
[10] http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131083760.pdf (tanggal 25 Oktober 2011)
[11] http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131083760.pdf (tanggal 25 Oktober 2011)
[12] Ibid. (tanggal 25 Oktober 2011)
[13] http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131083760.pdf (tanggal 25 Oktober 2011)

3 komentar: